Saldo: Rp0
LANGIT DI ATAS SAWAH

LANGIT DI ATAS SAWAH


Dipublikasikan: 13 Sep 2025 07:51 | Status: Approved

LANGIT DI ATAS SAWAH

Prolog: Aroma Tanah Basah

Aroma tanah yang dibasahi hujan pertama di bulan September adalah wewangian yang paling dicintai Pak Darmo. Itu adalah aroma harapan, aroma permulaan. Dari balik jendela rumah kayunya yang sederhana, ia memandang hamparan sawahnya yang akan segera ditanami lagi. Di pelupuk matanya, ia sudah membayangkan biji-biji padi itu tumbuh hijau, lalu menguning, berisi, dan akhirnya berhasil dipanen. Itu adalah mimpi yang ia ulang setiap musim, meski tak selalu indah akhirnya.

Bab 1: Benih dan Harapan

“Kita harus mulai menanam, Yah. Musim hujan sudah mau datang,” kata Bayu, putra bungsu Pak Darmo yang baru lulus SMA dan memilih untuk menggarap sawah daripada merantau.

Pak Darmo mengangguk pelan. “Iya, Bu. Tapi kita harus hati-hati memilih benihnya. Yang unggul, yang tahan hama.”

Keesokan harinya, mereka pergi ke koperasi tani setempat. Semangat mereka sedikit surut ketika melihat harga pupuk yang melambung tinggi. Tumpukan karung pupuk subsidi hanya segelintir, dan sudah habis terjual.

“Lagi langka, Pak Darmo,” kata pengurus koperasi sambil menghela napas. “Distribusinya terlambat. Mungkin minggu depan ada.”

“Minggu depan? Tanaman tidak bisa menunggu minggu depan,” gerutu Pak Darmo dalam hati.

Dengan dana yang pas-pasan, mereka hanya bisa membeli pupuk dalam jumlah terbatas, ditambah beberapa karung pupuk non-subsidi yang harganya selangit. Harapan yang semula membumbung tinggi, kini diselingi kecemasan.

Bab 2: Serangan di Malam Hari

Setelah sebulan ditanam, padi Pak Darmo dan Bayu tumbuh menghijau. Setiap pagi, mereka berkeliling sawah, memeriksa setiap petak, penuh perhatian seperti merawat bayi.

Namun, suatu pagi, Bayu berlari terengah-engah. “Yah, lihat ke sawah! Ada yang tidak beres!”

Pak Darmo bergegas menyusul. Dadanya sesak. Di tengah hamparan hijau, ada bercak-bercak kuning. Daun-daun padi menguning, berlubang, dan ada ratusan wereng coklat yang beterbangan ketika ia mendekat.

Hama.

Serangan itu datang bagai tamu tak diundang di malam hari. Jantung Pak Darmo berdebar kencang. Ini adalah mimpi buruk setiap petani.

“Kita butuh pestisida, Yah!” teriak Bayu, panik.

Tapi lagi-lagi, masalah yang sama: uang. Pestisida yang bagus harganya mahal. Mereka harus memutar otak. Atas saran petani senior, mereka mencoba membuat pestisida alami dari campuran bawang putih, lengkuas, dan tembakau. Bayu yang melek teknologi mencari resepnya di internet.

Mereka berjaga hingga larut, mencampur dan menyemprotkan ramuan itu. Kegigihan mereka diuji. Mereka bekerja tak kenal lelah, menyemprot setiap helai daun, berdoa semoga ramuan tradisional ini manjur.

Bab 3: Doa dan Air Mata

Ramuan alami itu sedikit membantu, tetapi wereng masih ada. Hujan yang turun terus menerus juga memicu datangnya jamur. Beberapa petak sawah mereka rusak parah.

Suatu malam, di bawah lampu temaram, Pak Darmo duduk sendirian di beranda. Ia lelah. Air mata pria berusia 50 tahun itu meleleh pelan. Ia memandang langit berbintang, bertanya pada Yang Maha Kuasa, apa yang kurang dari usahanya.

“Aku sudah bekerja keras, Tuhan. Mengapa ini terjadi?”

Bayu mendekat, menduduk di sampingnya. “Yah, kita belum kalah. Kata orang, bertani itu kerja ikhtiar dan tawakkal. Kita sudah berikhtiar, sekarang saatnya kita bertawakkal lebih kuat.”

Perkataan anaknya menyentuh relung hatinya. Esok paginya, dengan semangat baru, mereka kembali ke sawah. Mereka membuang tanaman yang sudah terlanjur parah, menyemprot ulang, dan memberi pupuk seadanya dengan sangat hemat. Mereka berdoa bersama di tengah sawah, memohon kekuatan dan keselamatan untuk tanaman mereka.

Bab 4: Mentari di Ujung Kabut

Beberapa minggu berlalu. Perawatan tanpa henti mulai membuahkan hasil. Wereng berkurang drastis. Tanaman padi yang tersisa mulai menunjukkan kekuatannya, tumbuh lebih subur, dan mulai berbulir.

Seorang petugas penyuluh pertanian akhirnya datang dan memberikan bantuan pestisida yang tepat. Bantuan itu datang tepat waktu.

Pak Darmo dan Bayu tidak berhenti bersyukur. Mereka melihat bagaimana tanaman mereka perlahan-lahan pulih. Butir-butir padi mulai mengisi, merunduk, berwarna hijau kekuningan. Pemandangan itu indah sekali.

Bab 5: Panen dan Syukur

Musim panen tiba. Tidak seberapa dibandingkan musim-musim sebelumnya, tetapi cukup. Cukup untuk membayar hutang, cukup untuk makan, dan bahkan cukup untuk menyisihkan sedikit benih untuk musim berikutnya.

Di tengah sawah yang menguning, Pak Darmo memegang setangkai padi yang berisi penuh. Butiran emas itu adalah hasil dari air mata, keringat, dan doanya.

Ia memandang langit biru yang luas di atas sawahnya. Ia tersenyum. Ia ingat betapa hampir ia menyerah, tetapi ia memilih untuk gigih. Ia ingat kelangkaan pupuk dan ganasnya hama, tetapi mereka menemukan jalan. Ia merasakan pengharapan yang nyaris pudar, tetapi kini telah berbuah menjadi kesyukuran yang mendalam.

“Terima kasih, Tuhan,” bisiknya lirih. “Terima kasih untuk tanah ini, untuk hujan, untuk matahari, dan untuk ujian yang membuat kami lebih kuat.”

Bayu mendekat, wajahnya berbinar. “Alhamdulillah, Yah. Kita berhasil.”

Mereka memanen dengan sukacita. Hasilnya mungkin tidak sebesar yang lain, tetapi rasanya lebih manis dari biasanya. Itu adalah hasil dari perjuangan mereka.

Epilog: Warisan Abadi

Malam itu, di rumah mereka, terhidang nasi panas dari hasil panen mereka sendiri. Aromanya harum, rasanya nikmat sekali. Sebuah rasa syukur yang tak terucapkan.

Pak Darmo berkata pada Bayu, “Bertani itu bukan soal hasilnya saja, Nak. Tapi soal prosesnya. Soal bagaimana kita belajar sabar, gigih, tidak mudah menyerah, dan selalu bersyukur atas setiap butir nasi yang kita makan. Itulah warisan yang sesungguhnya.”

Bayu mengangguk, paham. Ia melihat bukan hanya sawah yang luas di luar, tetapi juga luasnya hati dan ketabahan seorang petani seperti ayahnya.

Di bawah langit yang sama, di atas sawah yang sama, harapan baru sudah bersemi untuk musim tanam berikutnya. Karena selama masih ada tanah, langit, dan hati yang gigih, selalu ada harapan untuk dituai.

--- Tamat ---