Saldo: Rp0
RUMAH POHON KENANGAN

RUMAH POHON KENANGAN


Dipublikasikan: 12 Sep 2025 20:00 | Status: Approved

RUMUH POHON KENANGAN

Oleh: Rania Putri

Prolog

Di sudut kota yang kini dipenuhi ruko dan perumahan mewah, dulu ada sepetak tanah lapang. Di sana, di bawah naungan pohon mangga yang sudah tua, tersimpan semua tawa kami, semua rahasia kecil kami, dan semua petualangan yang terasa seperti menjelajah ujung dunia. Itu adalah masa di mana waktu diukur oleh teriknya matahari dan panggilan ibu dari balik jendela. Masa yang begitu sederhana, namun kini terasa seperti harta karun yang tak ternilai. Ini adalah cerita tentang kami, tentang persahabatan, dan tentang satu musim panas yang mengubah segalanya.

Bab 1: Markas di Atas Pohon

Matahari musim panas ’95 terasa begitu garang, tapi kami tak peduli. Bayu, dengan topi baseball terbalik di kepalanya, memimpin kami mendaki pohon mangga tua di ujung jalan. Tangannya yang sudah penuh coretan tinta pulpen dari bermain ‘tekateki’ di sekolah, erat memegang dahan.

“Ayo, Dina! Jangan takut!” teriaknya pada gadis kecil berkuncir dua yang masih ragu di bawah.

“Gue tunggu di sini aja, deh. Gue jaga sandal kita,” jawab Dina, cemas.

Aku, Rani, adalah yang kedua setelah Bayu. Kaki dan tanganku sudah hafal setiap tonjolan dan dahan yang bisa dijadikan pijakan. Di belakanku, ada Aldi, si penggemar berat komik yang napasnya selalu terengah-engah tapi tak pernah menyerah, dan terakhir, si kecil Bima, adik Aldi, yang wajahnya selalu penuh semangat.

Dengan susah payah, akhirnya kami semua berhasil sampai di atas. “Rumah Pohon” kami bukanlah struktur kayu mewah, melainkan hanya beberapa papan yang kami paku secara sembunyi-sembunyi di antara dahan yang kuat. Tapi bagi kami, ini adalah benteng, markas besar, dan kapal yang akan membawa kami berlayar mengarungi lautan sawah yang terbentang di depan mata.

“Lihat! Gue bisa lihat sampai ke rumah Pak RT!” seru Aldi, menunjuk-nunjuk.

“Kita hari ini mau main apa?” tanya Bima, matanya berbinar.

Bayu, sang pemimpin tak terbantahkan, mengeluarkan sebuah kelereng biru bening dari sakunya. “Lomba kelereng! Siapa yang menang, dia yang ambil jambu di kebunan Pak Sardi nanti sore.”

Kami semua menyetujuinya dengan sorak sorai. Dunia di atas pohon itu adalah dunia kami. Di sana, PR, les piano, dan teguran orang tua tidak punya tempat. Yang ada hanya janji setia untuk selalu bertualang bersama.

Bab 5: Misteri dan Malam Minggu

Petualangan kami tidak hanya terjadi di siang hari. Malam Minggu adalah saat yang paling dinanti. Setelah magrib, ketika lampu-lampu jalan masih jarang dan gelap terasa lebih pekat, kami berkumpul di pos ronda.

“Kalian dengar kabar tentang harta karun peninggalan Belanda di balik kali?” bisik Bayu suatu malam, suaranya dramatis diterangi cahaya lampion tempel.

“Mitos!” sahut Aldi, tapi matanya melotot penuh ketakutan dan rasa ingin tahu.

“Beneran! Kata papa gue, dulu dia nemuin koin-koin tua waktu lagi mancing.”

Tanpa pikir panjang, kami berlima memutuskan untuk menjadi pemburu harta karun. Esok harinya, dengan ‘perlengkapan’ seadanya—sebuah sekop tua, kompas mainan, dan bekal nasi bungkus—kami menyusuri kali kecil di belakang pemukiman.

Tentu saja kami tidak menemukan harta karun. Yang kami dapat adalah celana kotor, kaki yang penuh lumpur, dan seekor anak kucing yang tersesat yang kemudian kami selamatkan dan rawat di markas pohon kami. Tapi kegembiraan itu nyata. Rasanya kami adalah para penjelajah sejati.

Malam itu kami habiskan dengan bermain petak umpet. Suara tawa dan teriakan “Hompimpa!” bersahutan di antara gelapnya malam, hanya diterangi cahaya bulan purnama dan lampu dari rumah-rumah warga. Teriakan “Awas, ada Pak Hansip!” selalu berhasil membuat kami berlarian pontang-panting, jantung berdebar-debar, sebelum akhirnya tertawa lepas karena ternyata itu hanya bayangan pohon.

Bab 9: Perpisahan dan Janji

Musim panas itu akhirnya harus berakhir. Kabar buruk datang dari keluarga Bayu. Ayahnya dipindahkan tugas ke kota lain. Ia harus pindah, meninggalkan kampung halaman, meninggalkan markas pohon kami, meninggalkan kami.

Hari terakhirnya, kami semua berkumpul di bawah pohon mangga. Suasana hening, berbeda dengan biasa nya. Dina bahkan sudah mulai menangis tersedu-sedu.

“Jangan nangis, Din,” kata Bayu, mencoba berlagak tegar, tapi suaranya parau. “Ini bukan selamanya. Gue pasti balik.”

“Beneran?” tanya Bima polos.

“Beneran. Sumpah, deh. Di atas nama pertandingan kelereng kita yang kemarin!” ujarnya, memaksa tersenyum.

Aku mengeluarkan sebuah buku notes kecil yang sudah penuh dengan coretan-coretan kami. “Kita tandatanganin ini, yuk. Sebagai bukti kalau kita akan tetap sahabat selamanya. Di mana pun kita berada.”

Satu per satu, dengan pensil yang sudah tumpul, kami menorehkan nama kami dengan huruf-huruf yang canggung dan penuh keyakinan. Bayu yang terakhir. Di samping namanya, ia menggambar sebuah ikon kelereng biru.

Kami berpelukan di bawah pohon itu, sebuah lingkaran persahabatan yang hangat dan erat. Mobil jemputan Bayu sudah menunggu di ujung jalan. Ia berlari, menoleh sekali lagi, dan melambai pada kami.

“Sampai jumpa!” teriaknya.

Kami membalasnya, “Sampai jumpa, Bayu!”

Epilog: Dua Puluh Tahun Kemudian

Kota itu telah berubah. Tanah lapang dan sawah telah berganti menjadi pusat perbelanjaan dan perkantoran. Tapi pohon mangga tua itu masih berdiri, dilindungi oleh warga karena dianggap sebagai pohon penerang.

Aku berdiri di bawahnya, menyentuh kulit pohon yang kasar. Aku baru saja pulang ke kota kelahiran setelah bertahun-tahun. Sebuah mobil berhenti di belakangku. Keluarlah seorang wanita dengan dua anak kembar.

“Rani?” suaranya masih familiar.

“Dina?” kami tertawa dan berpelukan.

Tidak lama kemudian, sebuah mobil lain datang. Aldi, yang kini menjadi seorang arsitek, dan Bima, yang membuka kedai kopi online. Kami tertawa, bercerita tentang kehidupan, tentang kenangan, tentang Bayu yang ternyata tinggal di luar negeri dan menjadi seorang insinyur.

“Dia bilang akan balik, kan?” gumamku.

Saat itu, sebuah mobil taxi berhenti. Seorang pria dengan sedikit uban di pelipisnya turun. Topi baseball masih melekat di kepalanya, meski sekarang dipakai dengan benar.

“Sorry, guys. Terlambat. Lalu lintasnya sudah jauh lebih padat,” katanya dengan senyum yang tak pernah berubah.

Bayu.

Dia mendekat, dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah kelereng biru bening, masih utuh.

“Masih ingat sumpah kita?” tanyanya.

Kami semua tersenyum, mata berkaca-kaca. Kami tidak perlu mendaki pohon lagi. Cukup dengan duduk di bangku taman di sebelahnya, bercerita seperti dulu. Rumah pohon itu mungkin sudah tiada, tapi kenangan dan ikatan yang kami bangun di atasnya tetap kokoh, bertahan melintasi waktu, menjadi bagian dari diri kami yang paling berharga dan paling kami rindukan.

Masa kecil mungkin telah pergi, tapi rasanya akan selalu hidup di setiap tawa, di setiap sudut kota, dan di setiap pertemuan kita yang penuh makna.

- Tamat -